PROSES DEMOKRATISASI YANG ASIH LEMAH DAPAT LENYAP DENGAN SEKETIKA
Proses demokratisasi yang asih lemah
dapat lenyap dengan seketika. Inilah dilema yang dihadapi Indonesia dalam kurun
waktu transisional seperti sekarang ini. Berbeda dengan transisi 1967-1971,
yang ditandai dengan pergantian rejim (replacement) di mana tak ada
elemen-elemen rejim lama yang ikut ambil bagian dalam rejim baru. Dengan
demikian rejim baru dapat mengambil kebijakan dan tindakan yang drastis,
memutus garis dengan rejim lama. Meskipun pemerintah yang dibentuk sebagai
hasil lanjutan dari Pemilu 1999, dari segi demokrasi prosedural telah
legitimate, tapi pemerintah yang ada tetaplah merupakan gabungan kekuatan dari
rejim otokratik dan kekuatan demokratik. . Oleh karenanya pemerintahan Presiden
Abdurrahman Wahid dan Megawati tidak mungkin dapat melakukan satu perobahan
yang drastis - kalaupun mereka mau - yang dapat menarik garis putus dari
struktur dan praktek rejim otoritarian, tanpa menimbulkan bencana baru bagi
bangsa dan negara. Perobahan yang ada akan lambat dan menyakitkan, karena
kekuatan riel politik-lah yang menentukan ke arah dan sejauh mana perobahan
dapat didorong tanpa menimbulkan bencana baru bagi bangsa. Elitisme dalam
demokrasi tidak sehat, apalagi korupsi, kolusi, dan nepotisme masih berkembang.
Negara dan Masyarakat: Partisipasi Politik
Pancasila dan komunitas politik Indonesia merupakan hasil sejarah dan politik,
kedua hal ini mengkristal dalam Pancasila. Ketidakpercayaan pada lembagai dan
pilihan politis; Argumentasi yang tidak setuju terhadap demokrasi langsung
menurut logika merupakan suatu argumentasi yang melawan sesuatu yang berkaitan
dengan demokrasi. Elitisme dalam demokrasi tidak sehat, apalagi korupsi,
kolusi, dan nepotisme masih berkembang. Individu yang rasional akan bertanya
kepada dirinya sendiri, “Apa yang akan aku peroleh dari partisipasiku ini dan
apa yang tidak akan kuperoleh jika aku gagal berpartisipasi? Ini menjadi
pegangan oleh orang-orang yang tidak berpartisipasi yang yang paling rasional. Akibatnya adalah mereka akan dipimpin oleh orang-orang dari
kelompok yang aktif berpartisipasi. Untuk memastikan, tanpa melaksanakan
kewajiban mereka dengan serius, basis untuk kebebasan di dalam masyarakat yang
politis akan dikikis. Kedua-Duanya elitism demokratis dan pilihan masuk akal
adalah pemain musik teori: yang terdahulu sebab partisipasi politik bermakna
untuk mencapai suatu akhir pemeliharaan penting otoritas politis; dan yang
belakangan sebab keikutsertaan adalah suatu alat yang digunakan oleh mereka
lebih lanjut .
Dalam participatory teori lihat keterlibatan
politis: keikutsertaan lebih dari suatu metoda pengaturan; melayani tujuan yang
lebih luas cementing masyarakat sipil bersama-sama, dan mendidik warganegara
dalam seni penguasaan. Mayoritas individu di (dalam) demokrasi liberal adalah
penerima keputusan pilihan pasif, dibanding/bukannya warganegara [yang] dengan
aktip membentuk politik. Sebagai ganti(nya) demokrasi kuat ditawarkan [di
mana/jika] politik adalah sesuatu (yang) dilaksanakan oleh, tidak untuk,
warganegara. Partisipasi politik dilihat sebagai yang baik dengan sendirinya;
sesuatu yang semua individu dapat berperan dalam dan dengan mana mereka
kembang;kan tidak hanya kemampuan/ wewenang politis mereka sendiri, tetapi juga
menempa mata rantai yang membentuk masyarakat sipil. Bentuk Partisipasi Politik
Ini mengacu pada format rutin, [yang] reguler dan kelembagaan [dari;ttg] tindakan
politis seperti partai politik dan menarik perhatian kelompok. Tiga
pertimbangan diusulkan untuk mengapa yang lebih tinggi kelas sosial mengambil
bagian lebih secara ekstensif dan sangat dalam politik kelembagaan dibanding
kelas pekerjaan; o mereka memiliki suatu tingkat yang lebih tinggi pendidikan;
dan o pesta dan kelompok politis lain tidak efektip, atau gagal, dalam
memobilisasi warganegara; mereka melainkan target warganegara yang paling kaya
untuk pertimbangan donasi politis mereka dan kuasa. Point 1 dan 2 mencerminkan
pandangan keikutsertaan yang society-centred: yaitu., orang-orang mengambil
bagian oleh karena sumber daya atau karakteristik sosial mereka memiliki.
Alasan : wanita-wanita itu adalah lebih sedikit mewakili lapisan masyarakat
lapisan dan elite politis, sehingga merasakan bahwa mereka tidak punya minat
akan mengambil bagian sudah termarginalisasi. Tetapi dalam hal kebijakan,
komitmen parpol untuk mencalonkan perempuan berkualitas di nomor urut dan
daerah yang berpotensi untuk terpilih, masih dipertanyakan. Apalagi dalam
Pemilu 2009.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar